Kamis, 01 Mei 2014

PLURALISME DAN MENYOAL POTENSI KONFLIK UMAT BERAGAMA

Sudah merupakan kehendak ilahi atau yang dalam ajaran agama disebutkan sebagai sunnatullah (hukum alam), bahwa Indonesia yang sangat kita cintai ini adalah merupakan salah satu negara di dunia yang sangat prularis baik dari sisi etnis, bahasa, agama dan lain sebagainya. Kenyataan itu disadari betul oleh para Founding Fathers negeri ini, sehingga pluralitas tersebut mereka rumuskan dengan afik dalam bentuk semboyan, Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya sekalipun berbeda-beda tetapi tetap satu. Masyarakat yang pluralis sudah barang tentu memiliki budaya, aspirasi dan perbedaan-perbedaan yang beraneka ragam, namun demikian mereka tetap sama, tidak ada yang merasa superior ataupun inferior dari yang lain. Mereka juga memiliki hak dan kewajiban yang sama baik dalam bidang sosial maupun politik. Namun sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan atau bahkan sering menimbulkan gesekan-gesekan di antara sesama mereka, yang pada gilirannya dapat menimbulkan terjadinya konflik baik antar etnis maupun antar agama. Di antara sekian elemen-elemen pluralitas tersebut yang paling rawan dan paling mudah bergejolak di antaranya adalah pluralitas di bidang agama, sebab agama adalah merupakan sesuatu yang paling asasi dalam diri seseorang dan paling mudah menimbulkan gejolak emosional. Sejarah mencatat bahwa konflik-konflik yang terjadi di Indonesia pada dasarnya bukanlah disebabkan oleh agama an sich, melainkan disebabkan oleh faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik, namun agama dijadikan sebagai simbol bahkan sebagai motor penggerak untuk terjadinya konflik antar ummat beragama. Kita semua yakin dan percaya bahwa semua agama mengajarkan perdamaian, hidup rukun dan tentram, dan tidak ada satupun agama di dunia ini menuruh ummat untuk saling membunuh atau bermusuhan dengan ummat lain. Oleh karena itulah maka kajian-kajian tentang pluralitas agama dan masalah-masalah yang mengitarinya seperti kerukunan ummat beragama semakin urgen untuk dilaksanakan, bahkan pembicaraan seputar masalah ini akan tetap aktual di masa mendatang dan diyakini tidak akan pernah mengalami kedaluarsa, sebab topik ini adalah topik yang sangat diminati oleh setiap orang yang menghendaki terwujudnya kedamaian di bumi ini. Kenyataan menunjukkan bahwa di penghujung akhir tahun sembilan puluhan sampai dengan awal tahun dua ribu, bangsa kita menghadapi tantangan yang cukup besar yang berkaitan dengan hubungan antar ummat beragama dimana hubungan ummat beragama terusik, bahkan telah juga menelan korban jiwa dan harta yang cukup banyak. Padahal salah satunya yang sangat dibanggakan bangsa ini pada masa lalu adalah indah dan harmonisnya hubungan antar ummat beragama di Indonesia, dan tingginya pengamalan dan syiar agama di Indonesia, sehingga kitapun tidak ragu mengakui diri sebagai bangsa yang religius dan bangsa yang saling mengharagai dan bisa hidup berdampingan dengan penganut agama lain. Pembicaraan seputar pluralisme sangat penting dilakukan dilatar belakangi oleh beberapa hal : 1. Perlunya sosialisasi bahwa pada dasarnya semua agama datang untuk mengajarkan dan menyebarkan damai dan perdamaian dalam kehidupan ummat manusia. 2. Wacana agama yang pluralis, toleran dan inklusiv merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran agama itu sendiri, sebab pluralitas apapun termasuk pluralitas agama, semangat toleransi dan inklusivisme adalah hukum Tuhan atau Sunnatullah yang tidak bisa diubah, dihalang-halangi dan ditutup-tutupi. 3. Adanya kesenjangan yang jauh antara cita-cita ideal agama-agama dan realitas empirik kehidupan ummat beragama di tengah masyarakat. 4. Semakin menguatnya kecenderungan inklusivisme dan intoleransi di sebagian ummat beragama yang pada gilirannya memicu terjadinya konflik dan permusuhan yang berlabel agama. 5. Perlu dicari upaya-upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan kerukunan dan perdamaian antar ummat beragama. Seperti saya sebutkan di atas bahwa pluralisme adalah merupakan Sunnatullah ataupun hukum alam yang tidak bisa diingkari oleh siapapun juga. Hal ini mengandung hikmah dan tujuan-tujuan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan hidup dan kehidupan ummat manusia. Hikmah dan tujuan-tujuan pluiralisme tersebut dapat dilihat dari ajaran-ajaran agama Islam yang termuat dalam Al-Quran, antara lain adalah sebagai berikut, pertama, sebagai simbol atau tanda kebesaran Tuhan (Q.S. Ar. Rum : 20); kedua sebagai sarana berinteraksi dan berkomunikasi antara sesama ummat manusia (Q.S. Al-Hujurat : 13); ketiga sebagai ujian dan sarana manusia dalam berlomba menuju kebaikan dan perenstasi (Q.S. Al-Maidah : 48); keempat sebagai motivasi beriman dan beramal sholeh (Q.S. Al-Baqarah : 60). Demikianlah Tuhan menciptakan sesuatu yang sangat berharga bagi ummat manusia hanya saja memang harus diakui bahwa banyak di antara ummat manusia yang salah dalam memahami pesan-pesan Tuhan. Artinya tidak dapat menangkap arti yang sesungguhnya dari ciptaan dan perintah-perintahNya. Kita sering mengira bahwa sesuatu ajaran adalah perintah Tuhan padahal sesungguhnya bukan, sebaliknya kita sering mengira bahwa suatu ajaran bukanlah perintah Tuhan padahal sesungguhnya ajaran tersebut adalah perintah Tuhan. Pluralisme adalah merupakan salah satu ajaran Tuhan yang sangat berguna dan bermanfaat bagi ummat manusia dalam rangka untuk mencapai kehidupan yang damai di muka bumi, hanya saja prinsip-prinsip pluralisme itu sering tercemari oleh perilaku-perilaku radikalisme, eksklusivisme, intoleransi dan bahkan fundamentalisme. Hal ini dapat diatasi manakala kita bisa menjadikan iman dan taqwa berfungsi dalam kehidupan yang nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila iman dan taqwa itu telah berfungsi dalam kehidupan individual kita masing-masing dan agama telah berfungsi dalam kehidupan masyarakat , berbangsa dan bernegara, maka dapat kita pastikan bahwa sesungguhnya perilaku-perilaku radikalisme, ekseklusivisme, intoleransi dan fundamentalisme, akan terhindar dari diri ummat beragama dan kita akan menjalani hidup yang demokratis yang penuh dengan kebersamaan dan persaudaraan. Potensi Konflik Ummat Beragama di Riau Sebagaimana sama-sama diketahui bahwa bahwa Propinsi Riau adalah merupakan daerah yang sangat heterogen baik dilihat dari suku, etnis, budaya maupun agama, namun demikian mereka itu hidup rukun dan damai antara satu sama yang lain, saling menghargai dan saling menghormati antara satu pemeluk agama dengan pemeluk agama yang lain, satu pemeluk agama tidak mengganggu pemeluk agama lain melaksanakan ajaran agamanya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya itu. Untuk menilai apakah Propinsi Riau mengandung potensi konfik dapat dilihat dari sudut pandang analisis tentang penyebab terjadinya konflik antar ummat beragama yang telah banyak terjadi di Indonesia seperti di Ambon, Maluku Utara, Poso, Situbondo, Timor Timur (waktu bergabung dengan Indonesia), Sampit, Papaua dan lain-lain sebagainya. Analisis tentang penyebab terjadinya konflik antar ummat beragama di Indonesia dapat disimpulkan adalah disebabkan tiga faktor utama yaitu : 1. Faktor ekonomi dan politik. Faktor ini sangat dominan sebab terjadinya kerusuhan sosial di berbagai daerah di negeri ini adalah disebabkan ketidakpuasan kalangan masyarakat terhadap terjadinya kesenjangan sosial yang sangat tajam antara si kaya dengan si miskin, antara pejabat dengan rakyat jelata, antara ABRI dengan sipil, antara majikan dengan buruh, antara pengusaha besar dengan pedagang kecil, sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang sosial, politik dan ekonomi yang tidak memihak kepada masyarakat bawah. Ketidakpuasan tersebut diwujudkan dalam bentuk protes-protes sosial yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan sosial, ditambah lagi dengan bumbu-bumbu agama yang menopang untuk melegitimasi aksi-aksi tersebut. 2. Faktor agama itu sendiri yang meliputi : a. Pendirian Rumah Ibadah yang tidak didirikan atas dasar pertimbangan situasi dan kondisi ummat beragama serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Penyiaran Agama yang dilakukan secara agitatif dan memaksakan kehendak bahwa agamanyalah yang paling benar, sedangkan agama orang lain adalah salah. Lebih berbahaya lagi manakala penyiaran agama itu sasaran utamanya adalah penganut agama tertentu. c. Bantuan Luar Negeri baik berupa materi maupun berupa tenaga ahli yang tidak mengikuti ketentuan yang berlaku, apalagi sering terjadi manipulasi bantuan keagamaan dari luar negeri. d. Perkawinan Berbeda Agama yang sekalipun pada mulanya adalah urusan peribadi dan keluarga, namun bisa menyeret kelompok ummat beragama dalam satu hubungan yang tidak harmonis, apalagi jika menyangkut akibat hukum perkawinan, harta benda perkawinan, warisan dan sebagainya. e. Perayaan Hari Besar Keagamaan yang kurang memperhatikan situasi, kondisi, toleransi dan lokasi tempat pelaksanaan perayaan itu. Apalagi perayaan itu dilakukan besar-besaran dan menyinggung perasaan. f. Penodaan Agama dalam bentuk pelecehan atau menodai doktrin dan keyakinan suatu agama tertentu baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok. Penodaan agama ini paling sering memicu terjadinya konflik antar ummat beragama. g. Kegiatan Aliran Sempalan, baik dilakukan perorangan maupun oleh kelompok yang didasarkan atas sebuah keyakinan terhadap agama tertentu namun menyimpang dari ajaran agama pokoknya. 3. Faktor lokalitas dan etnisitas. Faktor ini terutama muncul sebagai akibat dari migrasi penduduk, baik dari desa ke kota maupun antar pulau. Selanjutnya masalah etnisitas, Indonesia memiliki potensi disintegratif yang tinggi sebab terdiri dari 300 kelompok etnis yang berbeda-beda dan berbicara lebih dari 250 bahasa. Faktor ini akan menjadi pemicu dengan menguatnya etnisitas seperti penduduk asli atau putra daerah dan pendatang yang dengan mudah dapat menyulut perbedaan-perbedaan yang tak jarang berujung pada konflik, bahkan kerusuhan sosial. Ketiga faktor tersebut di atas betapapun kecilnya terdapat di Propinsi Riau namun kerukunan sosial masih tetap terjaga disebabkan adanya saling pengertian, saling memahami dan kebebasan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Hal ini disebabkan adanya dua faktor utama sebagai perekat yaitu : 1. Pengaruh dari agama itu sendiri yang dianut oleh ummat beragama sebab agama seperti disebutkan oleh Durkheim ibarat Lem Perekat, yang mengikat warga masyarakat supaya berada dalam kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Masyarakat tanpa agama cenderung menjadi kacau, namun dalam keadaan tertentu agama bisa juga menjadi sumber timbulnya konflik, keretakan, petaka dan bahkan peperangan. Pemikir lain bahkan mengatakan bahwa agama mengandung dua unsur, pertama unsur konstruktif dan kedua unsur destruktif. Tugas kita adalah bagaimana menguatkan dan membesarkan unsur konstruktif dan mengecilkan serta meninggalkan unsur destruktif, dan bila perlu merubah unsur destruktif menjadi unsur konstruktif. 2. Pengaruh Budaya Melayu yang melekat pada diri setiap penduduk Propinsi Riau. Budaya Melayu memang sangat dekat dengan budaya Islam dan bahkan Melayu itu identik dengan Islam. Islam adalah merupakan sebuah agama yang sangat menghargai hak dan kewajiban orang atau agama lain. Islam adalah sebuah agama yang sangat toleran terhadap agama lain dan bisa hidup berdampingan dengannya. Islam adalah agama yang mengakui akan agama-agama lainnya dan mengimani para pembawa (Nabinya), seperti mengimani Nabi Isa pembawa agama Kristen, mengimani Nabi Musa, Nabi Daud dan lain sebagainya. Ajaran agama Islam yang sangat toleran ini telah juga menjadi bagian dari Budaya Melayu yang menjadi budaya dari penduduk Propinsi Riau. Oleh karena itu maka hampir dapat dipastikan selama Budaya Melayu tetap dijunjung tinggi oleh penduduk Propinsi Riau maka konflik sosial atau konflik antar ummat beragama insya Allah tidak akan meletus di bumi lancang kuning ini.***

0 komentar:

Posting Komentar